Kalamullah Menurut Aliran Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Kalam Allah Swt ialah sifat yang dibutuhkan dan abadi dengan kesempurnaan, dan berkaitan dengan segala sesuau yang Dia ketahui, dan dengannya Dia menyampaikan perintah, kesepakatan dan ancamanNya.
Dalam duduk kasus kalamullah ini ada perbedaan pendapat diantara fatwa kalam, diantaranya adalah:
1. Aliran Mu’tazilah.
Kaum mu’tazilah pada kurun ke 2 dan ke 3 hijriyah telah mengguncangkan umat Islam dengan keterangannya yang menyampaikan bahwa kalamullah (al-Qur’an) itu makhluk bukan sifat ilahi yang qadim. Kepercayaan fatwa mu’tazilah ini merupakan kelanjutan dari pandangan bahwa ilahi tidak mempunyai sifat (sebagai sesuatu yang terpisah atau substansi tersendiri disamping zat tuhan) sehingga fatwa ini beropini bahwa kalamullah sebagai makhluk. Pada umumnya kaum mu’tazilah memahami hakikat kalam atau perkataan, sebagai: aksara yang tersusun dan bunyi yang terputus-putus yang diucapkan dengan lisan. Sehingga mereka menyampaikan perkataan bukanlah sifat akan tetapi perbuatan ilahi oleh alasannya ialah itu mesti diciptakan dan tidak kekal.
Dengan demikian al-Qur’an tidak bersifat abadi tetapi bersifat gres dan diciptakan tuhan. Alasan mereka ialah al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surah, ayat yang satu mendahului ayat yang lain dan surah yang satu mendahului surah yang lain. Karena didahului sesuatu maka tidak sanggup dikatakan qadim alasannya ialah qadim ialah sesuatau yang tidak bermula dan tidak didahului oleh apapun. Dalil al-Qur’an yang menjadi dasar ialah firman Allah Swt :
“Aliif laam raa, (inilah) suatau kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang maha bijaksana lagi maha tahu.” (QS. al-Hud : 1)
Menurut ayat tersebut, ayat-ayat al-Qur’an dibentuk tepat dan kemudian dibagibagi. Jelasnya, demikian kaum mu’tazilah, al-Qur’an sendiri mengakui bahwa al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian dan yang tersusun tidak sanggup bersifat abadi dalam arti qadim.
Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang disebut dalam kalam atau sabda ilahi yang tersusun dari aksara dan bunyi ialah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada zat tuhan, melainkan berada di luar diriNya.
2. Aliran Asy'ariyah.
Menurut fatwa Asy'ariyah kalam Allah itu esa dan qadim. Adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalamNya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri. Dari keterangan ini alAsy’ari melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu :
a. Sesuatu yang merupakan sifat ilahi dan itulah yang qadim.
b. Lafaz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut itulah yang gres atau dan bersifat makhluk.
Menurut kaum Asy'ariyah sabda ialah sifat dan sebagai sifat ilahi mestilah kekal. Sabda bagi mereka ialah arti atau makna abstrak. Sabda bukanlah yang tersusun dari aksara dan dikeluarkan dengan suara. Sabda yang tersusun disebut sabda hanya dalam arti kiasan. Sabda yang bahwasanya ialah apa yang terletak dibalik yang tersusun itu. Sabda yang tersusun dari aksara dan kata-kata bukanlah sabda tuhan. Sabda dalam arti abnormal inilah yang sanggup bersifat abadi dan sanggup menjadi sifat tuhan. Dan yang dimaksud al-Qur’an bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata, dan surah-surah tetapi arti atau makna abnormal tersebut. Dalam arti inilah al-Qur’an yang merupakan kalamullah dan bersifat kekal. Dalam arti huruf, kata, ayat, dan surah yang tertulis atau dibaca pada al-Qur’an ialah gres serta diciptakan dan bukanlah kalamullah.
3. Aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah sependapat dengan fatwa Asy'ariyah bahwa sabda ilahi atau al Qur’an ialah kekal. Al-Qur’an berdasarkan pendapat mereka ialah sifat abadi dari tuhan, satu tidak terbagi, tidak berbahasa Arab, tidak pula berbahasa syiria, tetapi diucapkan insan dalam ekspresi berlainan.
Aliran ini membedakan kalam (sabda) yang tersusun dengan aksara dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang bahwasanya atau makna abstrak). Kalam nafsi ialah sifat qadim bagi Allah Swt, sedangkan kalam yang tersusun dari aksara dan bunyi ialah gres (hadits).
Al-Qur’an dalam arti kalam tersusun dari aksara dan kata-kata ialah gres (hadits). Kalam nafsi tidak sanggup kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah Swt bersifat dengannya tidak sanggup diketahui kecuali dengan satu perantara.
Kalam Allah Swt ialah sifat yang dibutuhkan dan abadi dengan kesempurnaan, dan berkaitan dengan segala sesuau yang Dia ketahui, dan dengannya Dia menyampaikan perintah, kesepakatan dan ancamanNya.
Dalam duduk kasus kalamullah ini ada perbedaan pendapat diantara fatwa kalam, diantaranya adalah:
1. Aliran Mu’tazilah.
Kaum mu’tazilah pada kurun ke 2 dan ke 3 hijriyah telah mengguncangkan umat Islam dengan keterangannya yang menyampaikan bahwa kalamullah (al-Qur’an) itu makhluk bukan sifat ilahi yang qadim. Kepercayaan fatwa mu’tazilah ini merupakan kelanjutan dari pandangan bahwa ilahi tidak mempunyai sifat (sebagai sesuatu yang terpisah atau substansi tersendiri disamping zat tuhan) sehingga fatwa ini beropini bahwa kalamullah sebagai makhluk. Pada umumnya kaum mu’tazilah memahami hakikat kalam atau perkataan, sebagai: aksara yang tersusun dan bunyi yang terputus-putus yang diucapkan dengan lisan. Sehingga mereka menyampaikan perkataan bukanlah sifat akan tetapi perbuatan ilahi oleh alasannya ialah itu mesti diciptakan dan tidak kekal.
Dengan demikian al-Qur’an tidak bersifat abadi tetapi bersifat gres dan diciptakan tuhan. Alasan mereka ialah al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surah, ayat yang satu mendahului ayat yang lain dan surah yang satu mendahului surah yang lain. Karena didahului sesuatu maka tidak sanggup dikatakan qadim alasannya ialah qadim ialah sesuatau yang tidak bermula dan tidak didahului oleh apapun. Dalil al-Qur’an yang menjadi dasar ialah firman Allah Swt :
الٓر ۚ كِتَٰبٌ أُحْكِمَتْ ءَايَٰتُهُۥ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Aliif laam raa, (inilah) suatau kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang maha bijaksana lagi maha tahu.” (QS. al-Hud : 1)
Menurut ayat tersebut, ayat-ayat al-Qur’an dibentuk tepat dan kemudian dibagibagi. Jelasnya, demikian kaum mu’tazilah, al-Qur’an sendiri mengakui bahwa al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian dan yang tersusun tidak sanggup bersifat abadi dalam arti qadim.
Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang disebut dalam kalam atau sabda ilahi yang tersusun dari aksara dan bunyi ialah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada zat tuhan, melainkan berada di luar diriNya.
2. Aliran Asy'ariyah.
Menurut fatwa Asy'ariyah kalam Allah itu esa dan qadim. Adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalamNya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri. Dari keterangan ini alAsy’ari melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu :
a. Sesuatu yang merupakan sifat ilahi dan itulah yang qadim.
b. Lafaz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut itulah yang gres atau dan bersifat makhluk.
Menurut kaum Asy'ariyah sabda ialah sifat dan sebagai sifat ilahi mestilah kekal. Sabda bagi mereka ialah arti atau makna abstrak. Sabda bukanlah yang tersusun dari aksara dan dikeluarkan dengan suara. Sabda yang tersusun disebut sabda hanya dalam arti kiasan. Sabda yang bahwasanya ialah apa yang terletak dibalik yang tersusun itu. Sabda yang tersusun dari aksara dan kata-kata bukanlah sabda tuhan. Sabda dalam arti abnormal inilah yang sanggup bersifat abadi dan sanggup menjadi sifat tuhan. Dan yang dimaksud al-Qur’an bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata, dan surah-surah tetapi arti atau makna abnormal tersebut. Dalam arti inilah al-Qur’an yang merupakan kalamullah dan bersifat kekal. Dalam arti huruf, kata, ayat, dan surah yang tertulis atau dibaca pada al-Qur’an ialah gres serta diciptakan dan bukanlah kalamullah.
3. Aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah sependapat dengan fatwa Asy'ariyah bahwa sabda ilahi atau al Qur’an ialah kekal. Al-Qur’an berdasarkan pendapat mereka ialah sifat abadi dari tuhan, satu tidak terbagi, tidak berbahasa Arab, tidak pula berbahasa syiria, tetapi diucapkan insan dalam ekspresi berlainan.
Aliran ini membedakan kalam (sabda) yang tersusun dengan aksara dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang bahwasanya atau makna abstrak). Kalam nafsi ialah sifat qadim bagi Allah Swt, sedangkan kalam yang tersusun dari aksara dan bunyi ialah gres (hadits).
Al-Qur’an dalam arti kalam tersusun dari aksara dan kata-kata ialah gres (hadits). Kalam nafsi tidak sanggup kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah Swt bersifat dengannya tidak sanggup diketahui kecuali dengan satu perantara.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal kalamullah berdasarkan fatwa kalam (Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah). Sumber Buku Ilmu Kalam Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
0 Response to "Kalamullah Berdasarkan Anutan Kalam (Mu’Tazilah, Asy'ariyah Dan Maturidiyah)"