Keadilan dan Kehendak Mutlak Tuhan.
Perbedaan pendapat antar anutan kalam selaim mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan dan kekuasaan insan atas perbuatannya, adapula perbedaan pendapat dan perdebatan yang lain mengenai keadilan dan kehendak mutlak tuhan. Masalah kehendak mutlak ilahi dan keadilan ilahi ini berkaitan erat dengan anutan jabariyah dan qadariyah. Dimana paham jabariyah menempatkan segala yang maujud (termasuk perbuatan manusia) ini dalam ketentuan ilahi secara mutlak.
Sedangkan paham qadariyah beropini sebaliknya, dengan menitik beratkan perhatian kepada kehendak mutlak insan ketimbang kekuasan dan kehendak mutlak tuhan. Qadariyah beropini bahwa insan mempunyai potensi dan kapasitas untuk melaksanakan kehendak dan perbuatannya, oleh itu, paham ini mengacu pada perilaku free will and free act.
Lebih lanjut, kasus ini dikaji dengan lebih teliti dan detail oleh beberapa anutan ilmu kalam menyerupai mu’tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.
1. Aliran Mu’tazilah.
Mu’tazilah berprinsip, bahwa ilahi itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-hambaNya dan mengharuskan hamba hambaNya menanggung jawaban dari perbuatannya. Keadilan ilahi berdasarkan konsep mu’tazilah merupakan titik tolak dari pemikirannya wacana kehendak mutlak tuhan.
Mu’tazilah menyampaikan bahwa kekuasaan ilahi sebetulnya sudah tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan ilahi itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan ilahi terhadap insan serta adanya aturan alam yang berdasarkan al-Qur’an tidak pernah berubah.
Dengan demikian, anutan mu’tazilah berfikir bahwa yang membuat perbuatan insan yaitu insan itu sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kehendak tuhan, bahkan ilahi membuat insan sekaligus membuat kemampuan dan kehendak pada diri manusia.
Keadilan ilahi terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatanperbuatanNya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan menunjukkan kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlakNya di batasi oleh keadilan ilahi itu sendiri. Dalam pandangan mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak ilahi berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar ditengah alam semesta. Mu’tazilah memakai dalil QS. al-Ahzab (33) ayat 62:
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kau sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.” (QS. al-Ahzab : 62).
Di samping ayat-ayat yang menjelaskan kebebasan insan yang disinggung dalam pembicaraan tentang free will dan predestination.
Keadilan tuhan, berdasarkan mu’tazilah yaitu ilahi tidak berbuat dan tidak menentukan yang buruk, yang di jadikan sandaran mereka adalah:
QS. al-Anbiya (21) ayat 47:
Artinya : “Kami akan memasang timbangan yang sempurna pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jikalau (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya : 47)
QS. Yaasin (36) ayat 54:
Artinya : “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kau tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kau kerjakan.” (QS. Yaasin: 54)
QS. al-Nisa (4) ayat 40:
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jikalau ada kebajikan sebesar zarrah, pasti Allah akan melipat gandakannya dan menunjukkan dari sisiNya pahala yang besar.” (QS. al-Nisa : 40)
QS. al-Kahfi (18) ayat 49:
Artinya : “Dan diletakkanlah kitab, kemudian kau akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”. (QS. al-Kahfi : 49)
Keadilan ilahi berdasarkan konsep mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya wacana kehendak mutlak tuhan. Keadilan ilahi terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatanNya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhlukNya dan memberi kebebasan kepada manusia.
2. Aliran Asy'ariyah.
Dalam menjelaskan kemutlakan dan kekuasaan tuhan, al-Asy’ari menulis dalam al Ibanah bahwa ilahi tidak tunduk kepada siapapun, di atas ilahi tidak ada suatu zat apapun yang bisa membuat aturan mengenai apa yang harus diperbuat ilahi dan apa yang dihentikan diperbuat tuhan.
Al-Asy’ari mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan tuhan. Tuhan berbuat sesuatu sematamata yaitu kekuasaan dan kehendak mutlakNya, bukan lantaran kepentingan insan atau tujuan lainnya.
Ayat-ayat yang dipakai sebagai sandaran pendapat kaum Asy'ariyah adalah: QS. al-Buruj (85) ayat 16:
Artinya : "Maha kuasa berbuat apa yang dikehendakiNya." (QS. al-Buruj : 16).
QS. Yunus (10) ayat 99:
Artinya : “Dan jikalau tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kau (hendak) memaksa insan supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus : 99).
QS. al-Sajadah (32) ayat 13:
Artinya : “Dan kalau Kami menghendaki pasti Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: «Sesungguhnya akan saya penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan insan bersama-sama”. (QS. al-Sajadah: 13)
QS. al-An’am (6) ayat 112:
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) insan dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau tuhanmu menghendaki, pasti mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. al-An’am :112)
QS. al-Baqarah (2) ayat 253:
Artinya : “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain, di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat beliau dengan ruhul qudus. Dan kalau Allah menghendaki, pasti tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) setelah rasul-rasul itu, setelah tiba kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya.” (QS. alBaqarah :253)
Ayat-ayat tersebut dipahami Asy'ariyah sebagai pernyataan wacana kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Kehendak ilahi pasti berlaku, apabila kehendak ilahi tidak berlaku, berarti ilahi lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendakNya. Padahal sifat lalai, lupa dan lemah yaitu sifat yang tidak mungkin (tidak mungkin) bagi tuhan. Tanpa dikehendaki ilahi insan tidak akan berkehendak apa-apa.
Asy'ariyah memahami bahwa ilahi mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhlukNya dan sanggup berbuat sekehendak hatiNya. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti ilahi tidak sanggup berbuat sekehendakNya terhadap makhluk. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil apabila di pahami ilahi tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milikNya.
3. Aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah yang dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan tuhan, terbagi menjadi dua golongan, yaitu Maturidiyah samarkand dan Maturidiyah bukhara. Keadaan ini menyerupai dijelaskan pada serpihan awal bahwa perbedaan keduanya terletak padaporsi penggunaan nalar dan sumbangan batas kekuasaan mutlak tuhan. Karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak tuhan, kaum Maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih akrab dengan mu’tazilah, tetapi kekuatan nalar dan batasan yang di berikan kepada kekuasaan mutlak ilahi lebih kecil daripada yang diberikan mu’tazilah.
a. Aliran Maturidiyah Samarkand.
Kehendak mutlak ilahi berdasarkan anutan ini dibatasi oleh keadilan tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya yaitu baik dan Ia bisa untuk berbuat baik, serta melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada manusia. Batasan-batasan yang diberikan oleh anutan samarkand adalah:
1. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang berdasarkan pendapat mereka, ada pada manusia.
2. Keadaan ilahi menjatuhkan eksekusi bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan insan dalam memakai daya yang diciptakan ilahi dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
3. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagaimana kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi.
b. Aliran Maturidiyah Bukhara.
Aliran Maturidiyah bukhara beropini bahwa kekuasaan ilahi bersiafat mutlak dan hanya dimiliki oleh tuhan. Tuhan berbuat apa yang dikehendakinya, dan ilahi tidak berbuat apa yang tidak dikehendakinya serta menentukan segalagalanya. Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap manusia, dan tidak ada zat apapun yang sanggup menentang atau melarang ilahi untuk berbuat sesuatu. Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janjiNya, memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana keadilan dan kehendak mutlak ilahi berdasarkan anutan kalam (Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah). Sumber Buku Ilmu Kalam Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Perbedaan pendapat antar anutan kalam selaim mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan dan kekuasaan insan atas perbuatannya, adapula perbedaan pendapat dan perdebatan yang lain mengenai keadilan dan kehendak mutlak tuhan. Masalah kehendak mutlak ilahi dan keadilan ilahi ini berkaitan erat dengan anutan jabariyah dan qadariyah. Dimana paham jabariyah menempatkan segala yang maujud (termasuk perbuatan manusia) ini dalam ketentuan ilahi secara mutlak.
Sedangkan paham qadariyah beropini sebaliknya, dengan menitik beratkan perhatian kepada kehendak mutlak insan ketimbang kekuasan dan kehendak mutlak tuhan. Qadariyah beropini bahwa insan mempunyai potensi dan kapasitas untuk melaksanakan kehendak dan perbuatannya, oleh itu, paham ini mengacu pada perilaku free will and free act.
Lebih lanjut, kasus ini dikaji dengan lebih teliti dan detail oleh beberapa anutan ilmu kalam menyerupai mu’tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.
1. Aliran Mu’tazilah.
Mu’tazilah berprinsip, bahwa ilahi itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-hambaNya dan mengharuskan hamba hambaNya menanggung jawaban dari perbuatannya. Keadilan ilahi berdasarkan konsep mu’tazilah merupakan titik tolak dari pemikirannya wacana kehendak mutlak tuhan.
Mu’tazilah menyampaikan bahwa kekuasaan ilahi sebetulnya sudah tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan ilahi itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan ilahi terhadap insan serta adanya aturan alam yang berdasarkan al-Qur’an tidak pernah berubah.
Dengan demikian, anutan mu’tazilah berfikir bahwa yang membuat perbuatan insan yaitu insan itu sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kehendak tuhan, bahkan ilahi membuat insan sekaligus membuat kemampuan dan kehendak pada diri manusia.
Keadilan ilahi terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatanperbuatanNya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan menunjukkan kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlakNya di batasi oleh keadilan ilahi itu sendiri. Dalam pandangan mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak ilahi berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar ditengah alam semesta. Mu’tazilah memakai dalil QS. al-Ahzab (33) ayat 62:
سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kau sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.” (QS. al-Ahzab : 62).
Di samping ayat-ayat yang menjelaskan kebebasan insan yang disinggung dalam pembicaraan tentang free will dan predestination.
Keadilan tuhan, berdasarkan mu’tazilah yaitu ilahi tidak berbuat dan tidak menentukan yang buruk, yang di jadikan sandaran mereka adalah:
QS. al-Anbiya (21) ayat 47:
وَنَضَعُ ٱلْمَوَٰزِينَ ٱلْقِسْطَ لِيَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَٰسِبِينَ
Artinya : “Kami akan memasang timbangan yang sempurna pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jikalau (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya : 47)
QS. Yaasin (36) ayat 54:
فَٱلْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kau tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kau kerjakan.” (QS. Yaasin: 54)
QS. al-Nisa (4) ayat 40:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَٰعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jikalau ada kebajikan sebesar zarrah, pasti Allah akan melipat gandakannya dan menunjukkan dari sisiNya pahala yang besar.” (QS. al-Nisa : 40)
QS. al-Kahfi (18) ayat 49:
وَوُضِعَ ٱلْكِتَٰبُ فَتَرَى ٱلْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَٰوَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلْكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحْصَىٰهَا ۚ وَوَجَدُوا۟ مَا عَمِلُوا۟ حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Artinya : “Dan diletakkanlah kitab, kemudian kau akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”. (QS. al-Kahfi : 49)
Keadilan ilahi berdasarkan konsep mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya wacana kehendak mutlak tuhan. Keadilan ilahi terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatanNya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhlukNya dan memberi kebebasan kepada manusia.
2. Aliran Asy'ariyah.
Dalam menjelaskan kemutlakan dan kekuasaan tuhan, al-Asy’ari menulis dalam al Ibanah bahwa ilahi tidak tunduk kepada siapapun, di atas ilahi tidak ada suatu zat apapun yang bisa membuat aturan mengenai apa yang harus diperbuat ilahi dan apa yang dihentikan diperbuat tuhan.
Al-Asy’ari mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan tuhan. Tuhan berbuat sesuatu sematamata yaitu kekuasaan dan kehendak mutlakNya, bukan lantaran kepentingan insan atau tujuan lainnya.
Ayat-ayat yang dipakai sebagai sandaran pendapat kaum Asy'ariyah adalah: QS. al-Buruj (85) ayat 16:
فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
Artinya : "Maha kuasa berbuat apa yang dikehendakiNya." (QS. al-Buruj : 16).
QS. Yunus (10) ayat 99:
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَءَامَنَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا۟ مُؤْمِنِينَ
Artinya : “Dan jikalau tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kau (hendak) memaksa insan supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus : 99).
QS. al-Sajadah (32) ayat 13:
وَلَوْ شِئْنَا لَءَاتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَىٰهَا وَلَٰكِنْ حَقَّ ٱلْقَوْلُ مِنِّى لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلْجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya : “Dan kalau Kami menghendaki pasti Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: «Sesungguhnya akan saya penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan insan bersama-sama”. (QS. al-Sajadah: 13)
QS. al-An’am (6) ayat 112:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ يُوحِى بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ ٱلْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) insan dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau tuhanmu menghendaki, pasti mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. al-An’am :112)
QS. al-Baqarah (2) ayat 253:
تِلْكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَٰتٍ ۚ وَءَاتَيْنَا عِيسَى ٱبْنَ مَرْيَمَ ٱلْبَيِّنَٰتِ وَأَيَّدْنَٰهُ بِرُوحِ ٱلْقُدُسِ ۗ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقْتَتَلَ ٱلَّذِينَ مِنۢ بَعْدِهِم مِّنۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ ٱلْبَيِّنَٰتُ وَلَٰكِنِ ٱخْتَلَفُوا۟ فَمِنْهُم مَّنْ ءَامَنَ وَمِنْهُم مَّن كَفَرَ ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقْتَتَلُوا۟ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
Artinya : “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain, di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat beliau dengan ruhul qudus. Dan kalau Allah menghendaki, pasti tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) setelah rasul-rasul itu, setelah tiba kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya.” (QS. alBaqarah :253)
Ayat-ayat tersebut dipahami Asy'ariyah sebagai pernyataan wacana kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Kehendak ilahi pasti berlaku, apabila kehendak ilahi tidak berlaku, berarti ilahi lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendakNya. Padahal sifat lalai, lupa dan lemah yaitu sifat yang tidak mungkin (tidak mungkin) bagi tuhan. Tanpa dikehendaki ilahi insan tidak akan berkehendak apa-apa.
Asy'ariyah memahami bahwa ilahi mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhlukNya dan sanggup berbuat sekehendak hatiNya. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti ilahi tidak sanggup berbuat sekehendakNya terhadap makhluk. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil apabila di pahami ilahi tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milikNya.
3. Aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah yang dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan tuhan, terbagi menjadi dua golongan, yaitu Maturidiyah samarkand dan Maturidiyah bukhara. Keadaan ini menyerupai dijelaskan pada serpihan awal bahwa perbedaan keduanya terletak padaporsi penggunaan nalar dan sumbangan batas kekuasaan mutlak tuhan. Karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak tuhan, kaum Maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih akrab dengan mu’tazilah, tetapi kekuatan nalar dan batasan yang di berikan kepada kekuasaan mutlak ilahi lebih kecil daripada yang diberikan mu’tazilah.
a. Aliran Maturidiyah Samarkand.
Kehendak mutlak ilahi berdasarkan anutan ini dibatasi oleh keadilan tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya yaitu baik dan Ia bisa untuk berbuat baik, serta melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada manusia. Batasan-batasan yang diberikan oleh anutan samarkand adalah:
1. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang berdasarkan pendapat mereka, ada pada manusia.
2. Keadaan ilahi menjatuhkan eksekusi bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan insan dalam memakai daya yang diciptakan ilahi dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
3. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagaimana kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi.
b. Aliran Maturidiyah Bukhara.
Aliran Maturidiyah bukhara beropini bahwa kekuasaan ilahi bersiafat mutlak dan hanya dimiliki oleh tuhan. Tuhan berbuat apa yang dikehendakinya, dan ilahi tidak berbuat apa yang tidak dikehendakinya serta menentukan segalagalanya. Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap manusia, dan tidak ada zat apapun yang sanggup menentang atau melarang ilahi untuk berbuat sesuatu. Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janjiNya, memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana keadilan dan kehendak mutlak ilahi berdasarkan anutan kalam (Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah). Sumber Buku Ilmu Kalam Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
0 Response to "Keadilan Dan Kehendak Mutlak Yang Kuasa Berdasarkan Anutan Kalam (Mu’Tazilah, Asy'ariyah Dan Maturidiyah)"