Hadits Tentang Pola Hidup Sederhana dan Gemar Menyantuni Kaum Duafa.
Dalam hidup kita semua niscaya mengharapkan sanggup memenuhi semua yang kita inginkan, baik menyangkut kebutuhan primer mirip makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan daerah tinggal; maupun kebutuhan sekunder mirip kendaraan, televisi, telephon, dan hiburan; bahkan kebutuhan kemewahan mirip menginap di hotel berbintang, rekreasi ke luar negeri dan mempunyai kendaraan beroda empat atau rumah mewah. Namun kita tahu, bahwa tidak semua orang beruntung sanggup menikmati hidup berkecukupan. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan kemewahan, dikala ini masih banyak keluarga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer. Mereka tinggal di kolong-kolong jembatan atau di lapak-lapak pedagang pasar, tidak bisa menyekolahkan anak-anak, tidak mempunyai pakaian yang layak, tidak bisa membiayai perawatan kesehatan dst.
Menyadari kondisi yang mirip itu, yang masih diderita oleh saudara-saudara kita sebangsa, atau seagama, bahkan mungkin masih mempunyai hubungan keluarga dengan kita, kemudian apakah kita yang diberi kenikmatan berupa kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhan, akankah dengan besar hati kita tampilkan diri kita dengan pakaian indah-indah, mahal-mahal? Senangkah kita tunjukkan kepada mereka barang-barang glamor yang kita miliki; kalung, liontin, cincin berlian, hand phone, tablet dll. Tentu yang mirip itu tidak pantas kita lakukan. Apalagi kalau ditambah dengan sikap apatis atau tidak peduli terhadap nasib yang mereka alami.
Hadits Pertama.
Dari Abdullah bin Amr, sesunggunya Rasululllah Saw melewati Sa’ad yang sedang berwudhu. Maka Rasulullah bersabda: "Kenapa berlebih lebihan mirip ini?" Sa’ad menjawab: “Apakah dalam berwudhu ada yang dianggap berlebihan?” Rasulullah menjawab: "Ya, meskipun kau berada di atas sungai yang mengalir” (HR. Ibnu Majah)
Hadits Kedua.
Dari Hakim bin Hizam ra, dari Nabi Saw, dia bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, maka mulailah dengan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah yaitu dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka siapa yang berusaha menjaga dirinya, Allah akan menjaganya dan siapa yang merasa cukup untuk dirinya maka Allah akan mencukupkannya." (HR Bukhari)
Untuk memahami pengertian “pola hidup sederhana” dengan baik, maka harus kita pahami dua istilah yang terdapat di dalamnya yaitu rujukan hidup dan sederhana. Pola hidup yaitu cara berperilaku dalam kehidupan sehari-hari semenjak bangkit tidur hingga tidur lagi. Makara rujukan hidup yaitu bagaimana kita beraktifitas sehari-hari mirip mandi, makan, bekerja, berpenampilan, berolah raga, berguru dsb. Pola hidup sanggup dikatakan sebagai kebiasaan. Bila kita mempunyai kebiasaan jelek berarti kita mempunyai rujukan hidup yang buruk. Begitu pula sebaliknya, kebiasaan yang baik menerangkan kita telah melaksanakan rujukan hidup yang baik. Adapun sederhana yaitu berperilaku sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan tidak berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.
Seorang Muslim diperintahkan untuk mempunyai rujukan hidup yang baik. Diantara rujukan hidup yang baik yaitu hidup sederhana, yaitu berperilaku sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan tidak berlebih lebihan atau bermewah-mewahan. Akan tetapi alasannya yaitu kebutuhan hidup orang itu berbeda-beda, maka ukuran sederhana untuk setiap orang juga berbeda-beda. Seorang pengusaha yang mempunyai jaringan kerja antar propinsi, antar pulau, atau bahkan antar negara tentu sering mengeluarkan biaya banyak untuk biaya transportasi yang harus dia keluarkan baik untuk membeli kendaraan beroda empat dan maintenance nya atau untuk membeli tiket pesawat, tentu hal itu tidak berarti dia tidak hidup sederhana atau bermewah-mewahan. Akan tetapi bagi seseorang yang daerah kerjanya sanggup dijangkau dengan bersepeda atau berjalan kaki, maka kalau dia selalu mengendarai kendaraan beroda empat untuk berangkan kerja, hal itu sanggup digolongkan sebagai rujukan hidup yang berlebihan atau bermewah-mewahan.
Pada hadis pertama di atas, Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk hidup sederhana bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dalam melaksanakan ibadah. Diceritakan dalam hadis tersebut bahwa Rasulullah menegur seorang sahabatnya yaitu Sa’ad yang dianggap berlebihan dalam berwudlu. Imam al-Suyuti menjelaskan bahwa yang dianggap berlebihan dalam berwudhu tersebut yaitu penggunaan waktu yang berlebihan dan melampaui batas ketentuan syariat wudlu. Karena itu hendaknya orang yang berwudlu menghindari sifat was-was yang menyebabkannya selalu merasa belum tepat dalam berwudlu sehingga merasa perlu mengulang-ulang berkali-kali dalam membasuh anggota wudlu nya, dan hasilnya yaitu penggunaan air yang berlebihan dan menghabiskan waktu yang lama. Menurut al-Suyuti juga, hadis ini membantah orang yang menganggap tidak ada “isrof” atau perbuatan yang dianggap berlebihan dalam menjalankan ketaatan dan ibadah.
Larangan berlebihan dalam hal menjalankan ketaatan dan ibadah, disebutkan juga dalam beberapa hadis Rasulullah yang lain. Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah menjenguk sahabatnya yang Sa’ad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras, ketika itu Sa’ad berkata: "Ya Rasulullah, saya mempunyai banyak harta, dan jago warisku hanya seorang anak perempuan, bolehkan saya berwasiat untuk mensedekahkan dua pertiga dari hartaku? Rasulullah menjawab: “jangan”. Lalu Sa’ad bertanya lagi “bagaimana kalau saya sedekahkan setengah harta saya” Rasulullah menjawab “jangan”. Lalu dia bersabda: “sepertiga saja, sungguh kalau engkau tinggalkan jago warismu dalam keadaan kaya (berkecukupan), hal itu lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain”.
Makara rujukan hidup sederhana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw bukan hanya dalam membelanjakan uang atau dalam porsi masakan yang akan kita konsumsi. Dalam ibadah dan amalan taat yang lain pun diperintahkan untuk sederhana. Memperkuat hadis di atas, Rasulullah Saw juga bersabda:
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw, bahu-membahu dia bersabda: “Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan sombong.” (HR. Baihaki)
Apabila dalam berwudlu (beribadah) dan berinfak (perbuatan taat) dihentikan melampaui batas, maka lebih-lebih lagi dalam hal makan, minum, dan berpakaian. Dalam ketiga hal ini larangan melampaui batas itu meliputi jumlahnya, harganya maupun wadahnya.
Selain dihentikan mengkonsumsi masakan dalam jumlah yang berlebihan, seorang Muslim juga dihentikan membeli masakan yang terlalu mahal harganya, alasannya yaitu hal itu termasuk “Tabdzir” atau pemborosan (penghambur-hamburan) uang. Kalau kini berkembang di masyarakat, kebiasaan untuk makan-makan di restoran yang mahal mahal, hal itu termasuk pemborosan. Padahal jenis masakan yang sama bias dibeli di daerah lain dengan harga yang jauh lebih murah.
Selain itu dihentikan pula mengkonsumsi masakan atau minuman dengan memakai wadah, piring atau gelas dari emas atau perak alasannya yaitu hal itu merupakan perbuatan bermewah-mewahan dan indikasi dari sifat sombong.
Kemudian pada hadis kedua, Rasulullah saw memerintahkan umat Islam untuk meyantuni kaum “dlu’afa” atau orang-orang yang lemah yakni kaum fakir dan miskin. Kenapa demikian? Dalam hidup bermasyarakat, kita niscaya pernah dimintai pertolongan atau proteksi oleh seseorang yang sedang mengalami kesulitan. Sebaliknya kita pun niscaya pernah meminta pertolongan kepada orang lain di dikala menghadapi dilema yang tidak sanggup kita atasi sendiri. Demikianlah saling memberi dan mendapatkan merupakan penggalan yang tak terpisahkan dalam hidup kita. Betapa sulit hidup ini kalau diantara sobat sejawat, atau diantara tetangga, tidak ada kesediaan untuk saling membantu, segala urusan harus diatasi sendiri. Jika demikian yang terjadi maka sikap individualis dan egois, akan merasuk pada pribadi-pribadi dan akan berakibat setiap orang tidak peduli pada nasib atau derita orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Terkait dengan hal ini, Islam sangat memberi motivasi yang besar semoga kita bahagia memberi baik dalam bentuk shadaqoh, hibah, hadiah, infaq maupun zakat.
Dalam hadits di atas, orang yang memberi digambarkan dengan tangan di atas, sebaliknya orang yang meminta diibaratkan dengan tangan di bawah. Pengibaratan mirip itu merupakan kinayah atau perumpamaan yang sanggup dipahami secara denotative atau harfiyah maupun secara connotative atau ta’wil. Dengan pemahaman secara harfiyah terhadap hadis di atas, berarti orang yang memberi posisi tangannya berada di atas tangan orang yang meminta. Hal itu sanggup kita saksikan dalam kenyataan sehari-hari ketika pengemis atau pengamen meminta sedekah dia menadahkan tangannya kepada orang-orang. Maka ketika orang memperlihatkan sesuatu kepadanya secara otomatis tangannya berada di atas tangan pengemis atau pengamen itu.
Akan tetapi kini ini acara meminta atau memberi tidak selalu berlangsung dalam interaksi fisik mirip itu. Misalnya pemberian proteksi uang melalui pengiriman wesel, melalui rekening tabungan, bahkan pemberian proteksi pulsa telepon yang tidak terlihat wujud barangnya sanggup dilakukan dengan cara memberitahu nomor voucher melalui kontak atau sms kepada orang yang akan diberinya. Dalam interaksi meminta dan memberi mirip ini tentu tidak ada pertemuan tangan peminta dan pemberi, tidak ada tangan yang di bawah maupun yang di atas. Karena itu al-Nawawi memperlihatkan klarifikasi terhadap hadis itu dengan menyampaikan bahwa yang memberi lebih tinggi derajatnya dari pada yang meminta, demikian pula yang tidak meminta-minta lebih tinggi derajatnya dari yang meminta-minta.
Hadits diatas selain menganjurkan orang untuk memperlihatkan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, juga mengajarkan orang untuk mandiri, hidup dengan perjuangan dan jerih payah sendiri, tidak menggantungkan hidupnya pada pemberian dan proteksi orang lain. Dalam kaitan ini Rasulullah Saw bersabda:
Dari Miqdam ra, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seseorang yang makan, yang lebih baik dari orang yang makan dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Dalam hidup kita semua niscaya mengharapkan sanggup memenuhi semua yang kita inginkan, baik menyangkut kebutuhan primer mirip makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan daerah tinggal; maupun kebutuhan sekunder mirip kendaraan, televisi, telephon, dan hiburan; bahkan kebutuhan kemewahan mirip menginap di hotel berbintang, rekreasi ke luar negeri dan mempunyai kendaraan beroda empat atau rumah mewah. Namun kita tahu, bahwa tidak semua orang beruntung sanggup menikmati hidup berkecukupan. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan kemewahan, dikala ini masih banyak keluarga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer. Mereka tinggal di kolong-kolong jembatan atau di lapak-lapak pedagang pasar, tidak bisa menyekolahkan anak-anak, tidak mempunyai pakaian yang layak, tidak bisa membiayai perawatan kesehatan dst.
Menyadari kondisi yang mirip itu, yang masih diderita oleh saudara-saudara kita sebangsa, atau seagama, bahkan mungkin masih mempunyai hubungan keluarga dengan kita, kemudian apakah kita yang diberi kenikmatan berupa kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhan, akankah dengan besar hati kita tampilkan diri kita dengan pakaian indah-indah, mahal-mahal? Senangkah kita tunjukkan kepada mereka barang-barang glamor yang kita miliki; kalung, liontin, cincin berlian, hand phone, tablet dll. Tentu yang mirip itu tidak pantas kita lakukan. Apalagi kalau ditambah dengan sikap apatis atau tidak peduli terhadap nasib yang mereka alami.
Hadits Pertama.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ مَا هَذَا السَّرَفُ فَقَالَ أَفِي الْوُضُوءِ إِسْرَافٌ قَالَ نَعَمْ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهَرٍ جَارٍ
Dari Abdullah bin Amr, sesunggunya Rasululllah Saw melewati Sa’ad yang sedang berwudhu. Maka Rasulullah bersabda: "Kenapa berlebih lebihan mirip ini?" Sa’ad menjawab: “Apakah dalam berwudhu ada yang dianggap berlebihan?” Rasulullah menjawab: "Ya, meskipun kau berada di atas sungai yang mengalir” (HR. Ibnu Majah)
Hadits Kedua.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
Dari Hakim bin Hizam ra, dari Nabi Saw, dia bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, maka mulailah dengan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah yaitu dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka siapa yang berusaha menjaga dirinya, Allah akan menjaganya dan siapa yang merasa cukup untuk dirinya maka Allah akan mencukupkannya." (HR Bukhari)
Untuk memahami pengertian “pola hidup sederhana” dengan baik, maka harus kita pahami dua istilah yang terdapat di dalamnya yaitu rujukan hidup dan sederhana. Pola hidup yaitu cara berperilaku dalam kehidupan sehari-hari semenjak bangkit tidur hingga tidur lagi. Makara rujukan hidup yaitu bagaimana kita beraktifitas sehari-hari mirip mandi, makan, bekerja, berpenampilan, berolah raga, berguru dsb. Pola hidup sanggup dikatakan sebagai kebiasaan. Bila kita mempunyai kebiasaan jelek berarti kita mempunyai rujukan hidup yang buruk. Begitu pula sebaliknya, kebiasaan yang baik menerangkan kita telah melaksanakan rujukan hidup yang baik. Adapun sederhana yaitu berperilaku sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan tidak berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.
Seorang Muslim diperintahkan untuk mempunyai rujukan hidup yang baik. Diantara rujukan hidup yang baik yaitu hidup sederhana, yaitu berperilaku sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan tidak berlebih lebihan atau bermewah-mewahan. Akan tetapi alasannya yaitu kebutuhan hidup orang itu berbeda-beda, maka ukuran sederhana untuk setiap orang juga berbeda-beda. Seorang pengusaha yang mempunyai jaringan kerja antar propinsi, antar pulau, atau bahkan antar negara tentu sering mengeluarkan biaya banyak untuk biaya transportasi yang harus dia keluarkan baik untuk membeli kendaraan beroda empat dan maintenance nya atau untuk membeli tiket pesawat, tentu hal itu tidak berarti dia tidak hidup sederhana atau bermewah-mewahan. Akan tetapi bagi seseorang yang daerah kerjanya sanggup dijangkau dengan bersepeda atau berjalan kaki, maka kalau dia selalu mengendarai kendaraan beroda empat untuk berangkan kerja, hal itu sanggup digolongkan sebagai rujukan hidup yang berlebihan atau bermewah-mewahan.
Pada hadis pertama di atas, Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk hidup sederhana bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dalam melaksanakan ibadah. Diceritakan dalam hadis tersebut bahwa Rasulullah menegur seorang sahabatnya yaitu Sa’ad yang dianggap berlebihan dalam berwudlu. Imam al-Suyuti menjelaskan bahwa yang dianggap berlebihan dalam berwudhu tersebut yaitu penggunaan waktu yang berlebihan dan melampaui batas ketentuan syariat wudlu. Karena itu hendaknya orang yang berwudlu menghindari sifat was-was yang menyebabkannya selalu merasa belum tepat dalam berwudlu sehingga merasa perlu mengulang-ulang berkali-kali dalam membasuh anggota wudlu nya, dan hasilnya yaitu penggunaan air yang berlebihan dan menghabiskan waktu yang lama. Menurut al-Suyuti juga, hadis ini membantah orang yang menganggap tidak ada “isrof” atau perbuatan yang dianggap berlebihan dalam menjalankan ketaatan dan ibadah.
Larangan berlebihan dalam hal menjalankan ketaatan dan ibadah, disebutkan juga dalam beberapa hadis Rasulullah yang lain. Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah menjenguk sahabatnya yang Sa’ad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras, ketika itu Sa’ad berkata: "Ya Rasulullah, saya mempunyai banyak harta, dan jago warisku hanya seorang anak perempuan, bolehkan saya berwasiat untuk mensedekahkan dua pertiga dari hartaku? Rasulullah menjawab: “jangan”. Lalu Sa’ad bertanya lagi “bagaimana kalau saya sedekahkan setengah harta saya” Rasulullah menjawab “jangan”. Lalu dia bersabda: “sepertiga saja, sungguh kalau engkau tinggalkan jago warismu dalam keadaan kaya (berkecukupan), hal itu lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain”.
Makara rujukan hidup sederhana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw bukan hanya dalam membelanjakan uang atau dalam porsi masakan yang akan kita konsumsi. Dalam ibadah dan amalan taat yang lain pun diperintahkan untuk sederhana. Memperkuat hadis di atas, Rasulullah Saw juga bersabda:
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw, bahu-membahu dia bersabda: “Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan sombong.” (HR. Baihaki)
Apabila dalam berwudlu (beribadah) dan berinfak (perbuatan taat) dihentikan melampaui batas, maka lebih-lebih lagi dalam hal makan, minum, dan berpakaian. Dalam ketiga hal ini larangan melampaui batas itu meliputi jumlahnya, harganya maupun wadahnya.
Selain dihentikan mengkonsumsi masakan dalam jumlah yang berlebihan, seorang Muslim juga dihentikan membeli masakan yang terlalu mahal harganya, alasannya yaitu hal itu termasuk “Tabdzir” atau pemborosan (penghambur-hamburan) uang. Kalau kini berkembang di masyarakat, kebiasaan untuk makan-makan di restoran yang mahal mahal, hal itu termasuk pemborosan. Padahal jenis masakan yang sama bias dibeli di daerah lain dengan harga yang jauh lebih murah.
Selain itu dihentikan pula mengkonsumsi masakan atau minuman dengan memakai wadah, piring atau gelas dari emas atau perak alasannya yaitu hal itu merupakan perbuatan bermewah-mewahan dan indikasi dari sifat sombong.
Kemudian pada hadis kedua, Rasulullah saw memerintahkan umat Islam untuk meyantuni kaum “dlu’afa” atau orang-orang yang lemah yakni kaum fakir dan miskin. Kenapa demikian? Dalam hidup bermasyarakat, kita niscaya pernah dimintai pertolongan atau proteksi oleh seseorang yang sedang mengalami kesulitan. Sebaliknya kita pun niscaya pernah meminta pertolongan kepada orang lain di dikala menghadapi dilema yang tidak sanggup kita atasi sendiri. Demikianlah saling memberi dan mendapatkan merupakan penggalan yang tak terpisahkan dalam hidup kita. Betapa sulit hidup ini kalau diantara sobat sejawat, atau diantara tetangga, tidak ada kesediaan untuk saling membantu, segala urusan harus diatasi sendiri. Jika demikian yang terjadi maka sikap individualis dan egois, akan merasuk pada pribadi-pribadi dan akan berakibat setiap orang tidak peduli pada nasib atau derita orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Terkait dengan hal ini, Islam sangat memberi motivasi yang besar semoga kita bahagia memberi baik dalam bentuk shadaqoh, hibah, hadiah, infaq maupun zakat.
Dalam hadits di atas, orang yang memberi digambarkan dengan tangan di atas, sebaliknya orang yang meminta diibaratkan dengan tangan di bawah. Pengibaratan mirip itu merupakan kinayah atau perumpamaan yang sanggup dipahami secara denotative atau harfiyah maupun secara connotative atau ta’wil. Dengan pemahaman secara harfiyah terhadap hadis di atas, berarti orang yang memberi posisi tangannya berada di atas tangan orang yang meminta. Hal itu sanggup kita saksikan dalam kenyataan sehari-hari ketika pengemis atau pengamen meminta sedekah dia menadahkan tangannya kepada orang-orang. Maka ketika orang memperlihatkan sesuatu kepadanya secara otomatis tangannya berada di atas tangan pengemis atau pengamen itu.
Akan tetapi kini ini acara meminta atau memberi tidak selalu berlangsung dalam interaksi fisik mirip itu. Misalnya pemberian proteksi uang melalui pengiriman wesel, melalui rekening tabungan, bahkan pemberian proteksi pulsa telepon yang tidak terlihat wujud barangnya sanggup dilakukan dengan cara memberitahu nomor voucher melalui kontak atau sms kepada orang yang akan diberinya. Dalam interaksi meminta dan memberi mirip ini tentu tidak ada pertemuan tangan peminta dan pemberi, tidak ada tangan yang di bawah maupun yang di atas. Karena itu al-Nawawi memperlihatkan klarifikasi terhadap hadis itu dengan menyampaikan bahwa yang memberi lebih tinggi derajatnya dari pada yang meminta, demikian pula yang tidak meminta-minta lebih tinggi derajatnya dari yang meminta-minta.
Hadits diatas selain menganjurkan orang untuk memperlihatkan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, juga mengajarkan orang untuk mandiri, hidup dengan perjuangan dan jerih payah sendiri, tidak menggantungkan hidupnya pada pemberian dan proteksi orang lain. Dalam kaitan ini Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Miqdam ra, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seseorang yang makan, yang lebih baik dari orang yang makan dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana rujukan hidup sederhana dan gemar menyantuni kaum du'afa. Sumber buku Siswa Hadits Ilmu Hadits Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
0 Response to "Hadits Perihal Hidup Sederhana Dan Gemar Menyantuni Du'afa"