A. Pengertian Ada’ al-Hadis.
Kata Ada’ (اداء) berasal dari kata adda – yuaddi – ada an yang artinya melaksanakan pekerjaan pada waktunya, membayar pada waktunya, atau memberikan kepadanya. Misalnya melaksanakan shalat atau zakat dan atau puasa pada waktunya di sebut adā’. Sedangkan melaksanakannya di luar waktunya disebut qaḍa. Secara terminologi adā’ mempunyai pengertian :
“Meriwayatkan Hadis dan menyampaikannya kepada orang lain dengan memakai bentuk kata tertentu.”
Definisi lain dikemukakan dalam Ilmu Mustalaḥ al-Hadis:
“Ada’ ialah memberikan hadis dan meriwayatkannya, Sedangkan Ada’ al-hadis ialah memberikan hadis kepada orang lain dan meriwayatkannya sebagaimana ia mendengar sehingga dalam bentuk-bentuk lafal yang digunakan dalam periwayatan. Tidak boleh lafad “haddasani” diganti dengan “ahbarani” atau “sami’tu” atau persamaannya alasannya berbeda makna dalam istilah. Dinukil dari Imam Ahmad, ia berkata: “Ikutilah lafadnya syaikh (guru) yang digunakan dalam periwayatan pada perkataan “sami’tu,” “haddasanā”, “haddasanī” dan “akhbarana” dan jangan engkau lewatkan.”
Dalam ada’ harus disebutkan ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam penyampaian hadis, alasannya ungkapan ini mempunyai makna tersendiri bagi para peneliti hadis yang memperlihatkan validitasnya. Tidak boleh menggantikan lambang-lambang periwayatan yang telah digunakan oleh guru- gurunya, dihentikan kata haddasana diganti dengan aḥbarani dan seterusnya.
B. Syarat-syarat Ada’ al-Hadis.
Mayoritas ulama hadis, ulama ushul, dan ulama fikih setuju bahwa syarat-syarat penyampaian hadis (Adā’ al-hadīs) sebagai berikut:
1. Muslim (beragama Islam).
Orang kafir tidak diterima dalam memberikan hadis sekalipun diterima dalam tahammul. Dalam mendapatkan hadis bagi orang kafir syah saja alasannya hanya mendapatkan tidak ada kekhawatiran kecurangan dan pendustaan, berbeda dengan penyampaian.
2. Baligh (dewasa).
Pengertian cukup umur maksudnya cukup umur dalam berpikir bukan dalam usia umumnya. Dewasa di sini diperkiraan berusia belasan tahun yang disebut remaja dalam perkembangan anak. Usia remaja ialah usia kritis dalam berpikir dan lebih konsisten dalam memelihara hadis. Berbeda usia anak kecil yang ditakutkan bohong. Anak kecil terkadang suka bohong, alasannya tidak ada eksekusi bagi anak kecil yang menyimpang. Kecuali jikalau milieu sosial dan keluarganya terbina baik dengan adaptasi kejujuran. Setelah anak cukup umur baharu ada penerapan aturan perintah dan larangan.
3. Aqil (berakal).
Syarat cerdik sangat penting dalam penyampaian hadis, alasannya hanya orang berakallah yang bisa membawa amanah hadis dengan baik. Periwayatan seorang yang tak berakal, kurang akal, dan orang abnormal tidak sanggup diterima.
4. `Adalah (adil).
Adil ialah suatu sifat pribadi taqwa, menghindari perbuatan dosa (fasik) dan menjaga kehormatan dirinya (muru’ah). Sebagai indikatornya seorang yang adil sanggup dilihat dari kejujurannya, menjauhi dosa-dosa besar dan kecil, menyerupai mencuri minum dan lain-lain. Tidak melaksanakan perbuatan mubah yang merendahkan kehormatan dirinya, menyerupai makan di jalanan, kencing bangkit dan bercanda yang berlebihan.
5. Dabit (kuat daya ingat).
Arti dhabith ialah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengingat apa yang ia dengar. Seorang perawi bisa mengingat atau hapal apa yang ia dengar dari seorang guru pada ketika memberikan hadis (dabit al-sadr). Atau jikalau dabit dalam goresan pena (dabit al-kitabah), tulisannya terpelihara dari kesalahan, pergantian, dan kekurangan.
C. Lafaz-lafaz dalam Ada’ al-Hadis.
Lafad-lafad yang digunakan dalam periwayatan hadis disebut dengan siyāg alisnād (sigat-sigat isnad). Sigat isnad mempunyai beberapa martabat (tingkatan), ragam, dan berbeda bergantung kepada metode yang digunakan.
1. Dalam metode al-Sama’.
Bentuk lafad ada` yang digunakan dalam metode as-Sama` berdasarkan al- Qadi `Iyad ialah berikut :
a. Aku mendengar (سَمِعْتُ)
b. Si fulan memberitakan kepada kami/ku (حدثنـي\حدثنا)
c. Si fulan memberitakan kepada ku/kami (أخربنا \أخربين)
d. Si fulan memberitakan kepada ku/kami (أنبأنا\أنبأين)
e. Si fulan berkata kepadaku (ىل قال)
f. Si fulan menyebutkan kepadaku (ذكرنـي)
Lafad (حدثين\أخربين) digunakan ada’ ketika tahammul sendirian, sedang kata (حدثنا\أخربنا) digunakan ada’ ketika tahammul bersama orang lain atau berjama’ah. Al-Khatib beropini bahwa lafad as-Sama’ yang paling tinggi adalah (\حدثنا\سـمعت حدثنـي) kemudian (أخربنـي\أخربنا) selum dikhususkan untuk metode al-Qira’ah dan (أنبأنا\أنبأين) sedikit digunakan. Ulama mutaakhkhirin memberlakukan lafad adā’ a dan b di atas untuk metode as-sama’, lambang c untuk metode al-qira’ah dan lambang d. untuk metode ijazah. Sedikit sekali di antara periwayat dalam metode as-sama` memakai kata (ذكرىل\ىل قال)karena ungkapan ini kebanyakan digunakan dalam metode sama` al-muzakarah (mendengar dalam mudzakarah) bukan sama` at-tahdis (mendengar dalam rangka mendapatkan hadis).
2. Pada metode Al-‘Ard ̣u/ al-qira’ah.
Bentuk lafad ungkapan ada’ dalam metode ini:
a. Aku membaca di hadapan fulan (ففالن ىلع قرأت)
b. Dibaca dihadapannya dan saya mendengarnya/diakui bacaannya(قرء عليه وأنا اسمع\فأقرر به)
c. Ia memperlihatkan kepada kami dengan membaca di hadapannya (عليه قراءة حدثنا)
d. Memberitakan kepada kami/ku (أخربنا \ أخربنـي)Pengakuan syaikh (guru) terhadap bacaan muridnya sama dengan pemberitaan kepadanya.
3. Metode al-Ijazah.
Ungkapan tahammul dalam metode ijazah ini yang diperbolehkan hanya ijazah kepada orang tertentu yang terang identitasnya untuk meriwayatkan hadis tertentu, misalnya:
ي صحيح أجزتك Aku ijazahkan kepedamu kitab Sahih al-Bukhari Jika ijazah ditujukan kepada orang yang tidak terang identitasnya sekalipun kitab hadisnya terang atau orang yang akan diijazahi terang tetapi hadisnya tidak jelas, maka ia tidak sanggup diterima. Pada umumnya majelis metode as-sama` dan al- qira’ah hadisnya dibaca di majelis oleh Syaikh, sedang dalam metode ijazah tidak dibacakan hadisnya.
Beberapa ungkapan ada’ al-hadis dalam metode ini sebagai berikut:
a. Si fulan memperlihatkan ijazah kepadaku (فالن أجازيل)
b. Si fulan memberitakan kepada kami dengan cara ijazah (metode ijazah digabung dengan metode as-Sama’) (إجازة حدثنا)
c. Si fulan memberitakan kepada kami dengan cara ijazah (metode ijazah digabung dengan metode al-Qira’ah) (إجازة أخربنا)
d. Si fulan memberitakan kepada kami (berlaku bagi mutaakhkhirin) (أنبأنا)
4. Metode al-Munawalah.
Bentuk ungkapan Ada’ al-Hadis dalam metode Munawalah berijazah yang paling baik ialah dengan ungkapan:
a. Si fulan memperlihatkan hadis kepadaku dan memberi ijazah untuk meriwayatkannya (ناولين وأجازنـي)
b. Memberitakan kepada kami dengan metode munawalah (munawalah digabung dengan as-samā) (مناوهل حدثنا)
c. Memberitakan kepada kami dengan metode munawalah dan ijazah (munawalah bercampur dengan al-Qira’ah) (إجازة و مناولة أخربنا)
5. Metode al-Mukatabah.
Ungkapan ada’ al-hadīs dalam metode ini, adakalanya dengan ungkapan yang tegas, contohnya :
a. Si fulan menulis surat kepadaku (فالن إيل كتب)
b. Si fulan memberitakan kepadaku atau memberitakan kepada melalui surat (metode munāwalah gabung dengan metode as-sama’ dan al-Qira’ah) (حدثين فالن أو أحربين كتابة)
6. Metode al-I’lam.
Lambang ungkapan ada’ al-hadis dengan menggunakan: بكذا شييخ أعلمين Guruku memperlihatkan informasi kepadaku begini..
7. Metode al-Wasiyah.
Bentuk ungkapan adā’ al-hadis dalam metode ini adalah: كذا فالن إيل أوىص Si fulan berwasiat kepadaku begini... وصية فالن حدثين Si fulan memberitakan kepadaku dengan wasiat (metode wasiat dan assama’)
8. Metode al-Wijadah.
Hukum periwayatan dengan wijadah masuk dalam kategori munqati` (terputus sanad), tetapi juga ada unsur muttasil. Bentuk ungkapannya : Aku dapatkan pada goresan pena si fulan begini. .. (كذا فالن بـخط وجدت) Aku membaca pada goresan pena fulan begini...(كذا فالن بـخط قرأت)
Pengamalan wijadah tidak diperbolehkan berdasarkan lebih banyak didominasi muhaddisin pengikut Imam Malik. Sedangkan berdasarkan as-Syafi`i dan ulama Syafi’iyyah diperbolehkan. Bahkan berdasarkan sebagian ulama wijadah wajib diamalkan jikalau penukilnya mempunyai dapat dipercaya (siqqah) dalam periwayatan.
a. Mengusahakan biar tetap bisa memperoleh hadis dari seorang guru yang tsiqah, lebih-lebih sanggup bertemu eksklusif dan empat mata, merupakan abjad ulama pada masa penerimaan dan penyampaian hadis. Hal ini dilakukan alasannya kualitas hadis sangat ditentukan oleh oleh bagaimana hadis itu diperoleh dari gurunya dan disampaikan kepada murid-muridnya. Sehingga mereka senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk sanggup mempertahankan keaslian hadis nabi.
b. Munculnya banyak sekali macam cara penerimaan dan penyampaian hadis, mengindikasikan bahwa hingga pada batas yang rendah dalam nilai sebuah penerimaan dan penyampaian, memperlihatkan bahwa betapa penting sebuah proses harus dilakukan walau pada akibatnya harus mendapatkan yang sesuatu yang kurang diharapkan.
Kata Ada’ (اداء) berasal dari kata adda – yuaddi – ada an yang artinya melaksanakan pekerjaan pada waktunya, membayar pada waktunya, atau memberikan kepadanya. Misalnya melaksanakan shalat atau zakat dan atau puasa pada waktunya di sebut adā’. Sedangkan melaksanakannya di luar waktunya disebut qaḍa. Secara terminologi adā’ mempunyai pengertian :
“Meriwayatkan Hadis dan menyampaikannya kepada orang lain dengan memakai bentuk kata tertentu.”
Definisi lain dikemukakan dalam Ilmu Mustalaḥ al-Hadis:
“Ada’ ialah memberikan hadis dan meriwayatkannya, Sedangkan Ada’ al-hadis ialah memberikan hadis kepada orang lain dan meriwayatkannya sebagaimana ia mendengar sehingga dalam bentuk-bentuk lafal yang digunakan dalam periwayatan. Tidak boleh lafad “haddasani” diganti dengan “ahbarani” atau “sami’tu” atau persamaannya alasannya berbeda makna dalam istilah. Dinukil dari Imam Ahmad, ia berkata: “Ikutilah lafadnya syaikh (guru) yang digunakan dalam periwayatan pada perkataan “sami’tu,” “haddasanā”, “haddasanī” dan “akhbarana” dan jangan engkau lewatkan.”
Dalam ada’ harus disebutkan ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam penyampaian hadis, alasannya ungkapan ini mempunyai makna tersendiri bagi para peneliti hadis yang memperlihatkan validitasnya. Tidak boleh menggantikan lambang-lambang periwayatan yang telah digunakan oleh guru- gurunya, dihentikan kata haddasana diganti dengan aḥbarani dan seterusnya.
B. Syarat-syarat Ada’ al-Hadis.
Mayoritas ulama hadis, ulama ushul, dan ulama fikih setuju bahwa syarat-syarat penyampaian hadis (Adā’ al-hadīs) sebagai berikut:
1. Muslim (beragama Islam).
Orang kafir tidak diterima dalam memberikan hadis sekalipun diterima dalam tahammul. Dalam mendapatkan hadis bagi orang kafir syah saja alasannya hanya mendapatkan tidak ada kekhawatiran kecurangan dan pendustaan, berbeda dengan penyampaian.
2. Baligh (dewasa).
Pengertian cukup umur maksudnya cukup umur dalam berpikir bukan dalam usia umumnya. Dewasa di sini diperkiraan berusia belasan tahun yang disebut remaja dalam perkembangan anak. Usia remaja ialah usia kritis dalam berpikir dan lebih konsisten dalam memelihara hadis. Berbeda usia anak kecil yang ditakutkan bohong. Anak kecil terkadang suka bohong, alasannya tidak ada eksekusi bagi anak kecil yang menyimpang. Kecuali jikalau milieu sosial dan keluarganya terbina baik dengan adaptasi kejujuran. Setelah anak cukup umur baharu ada penerapan aturan perintah dan larangan.
3. Aqil (berakal).
Syarat cerdik sangat penting dalam penyampaian hadis, alasannya hanya orang berakallah yang bisa membawa amanah hadis dengan baik. Periwayatan seorang yang tak berakal, kurang akal, dan orang abnormal tidak sanggup diterima.
4. `Adalah (adil).
Adil ialah suatu sifat pribadi taqwa, menghindari perbuatan dosa (fasik) dan menjaga kehormatan dirinya (muru’ah). Sebagai indikatornya seorang yang adil sanggup dilihat dari kejujurannya, menjauhi dosa-dosa besar dan kecil, menyerupai mencuri minum dan lain-lain. Tidak melaksanakan perbuatan mubah yang merendahkan kehormatan dirinya, menyerupai makan di jalanan, kencing bangkit dan bercanda yang berlebihan.
5. Dabit (kuat daya ingat).
Arti dhabith ialah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengingat apa yang ia dengar. Seorang perawi bisa mengingat atau hapal apa yang ia dengar dari seorang guru pada ketika memberikan hadis (dabit al-sadr). Atau jikalau dabit dalam goresan pena (dabit al-kitabah), tulisannya terpelihara dari kesalahan, pergantian, dan kekurangan.
C. Lafaz-lafaz dalam Ada’ al-Hadis.
Lafad-lafad yang digunakan dalam periwayatan hadis disebut dengan siyāg alisnād (sigat-sigat isnad). Sigat isnad mempunyai beberapa martabat (tingkatan), ragam, dan berbeda bergantung kepada metode yang digunakan.
1. Dalam metode al-Sama’.
Bentuk lafad ada` yang digunakan dalam metode as-Sama` berdasarkan al- Qadi `Iyad ialah berikut :
a. Aku mendengar (سَمِعْتُ)
b. Si fulan memberitakan kepada kami/ku (حدثنـي\حدثنا)
c. Si fulan memberitakan kepada ku/kami (أخربنا \أخربين)
d. Si fulan memberitakan kepada ku/kami (أنبأنا\أنبأين)
e. Si fulan berkata kepadaku (ىل قال)
f. Si fulan menyebutkan kepadaku (ذكرنـي)
Lafad (حدثين\أخربين) digunakan ada’ ketika tahammul sendirian, sedang kata (حدثنا\أخربنا) digunakan ada’ ketika tahammul bersama orang lain atau berjama’ah. Al-Khatib beropini bahwa lafad as-Sama’ yang paling tinggi adalah (\حدثنا\سـمعت حدثنـي) kemudian (أخربنـي\أخربنا) selum dikhususkan untuk metode al-Qira’ah dan (أنبأنا\أنبأين) sedikit digunakan. Ulama mutaakhkhirin memberlakukan lafad adā’ a dan b di atas untuk metode as-sama’, lambang c untuk metode al-qira’ah dan lambang d. untuk metode ijazah. Sedikit sekali di antara periwayat dalam metode as-sama` memakai kata (ذكرىل\ىل قال)karena ungkapan ini kebanyakan digunakan dalam metode sama` al-muzakarah (mendengar dalam mudzakarah) bukan sama` at-tahdis (mendengar dalam rangka mendapatkan hadis).
2. Pada metode Al-‘Ard ̣u/ al-qira’ah.
Bentuk lafad ungkapan ada’ dalam metode ini:
a. Aku membaca di hadapan fulan (ففالن ىلع قرأت)
b. Dibaca dihadapannya dan saya mendengarnya/diakui bacaannya(قرء عليه وأنا اسمع\فأقرر به)
c. Ia memperlihatkan kepada kami dengan membaca di hadapannya (عليه قراءة حدثنا)
d. Memberitakan kepada kami/ku (أخربنا \ أخربنـي)Pengakuan syaikh (guru) terhadap bacaan muridnya sama dengan pemberitaan kepadanya.
3. Metode al-Ijazah.
Ungkapan tahammul dalam metode ijazah ini yang diperbolehkan hanya ijazah kepada orang tertentu yang terang identitasnya untuk meriwayatkan hadis tertentu, misalnya:
ي صحيح أجزتك Aku ijazahkan kepedamu kitab Sahih al-Bukhari Jika ijazah ditujukan kepada orang yang tidak terang identitasnya sekalipun kitab hadisnya terang atau orang yang akan diijazahi terang tetapi hadisnya tidak jelas, maka ia tidak sanggup diterima. Pada umumnya majelis metode as-sama` dan al- qira’ah hadisnya dibaca di majelis oleh Syaikh, sedang dalam metode ijazah tidak dibacakan hadisnya.
Beberapa ungkapan ada’ al-hadis dalam metode ini sebagai berikut:
a. Si fulan memperlihatkan ijazah kepadaku (فالن أجازيل)
b. Si fulan memberitakan kepada kami dengan cara ijazah (metode ijazah digabung dengan metode as-Sama’) (إجازة حدثنا)
c. Si fulan memberitakan kepada kami dengan cara ijazah (metode ijazah digabung dengan metode al-Qira’ah) (إجازة أخربنا)
d. Si fulan memberitakan kepada kami (berlaku bagi mutaakhkhirin) (أنبأنا)
4. Metode al-Munawalah.
Bentuk ungkapan Ada’ al-Hadis dalam metode Munawalah berijazah yang paling baik ialah dengan ungkapan:
a. Si fulan memperlihatkan hadis kepadaku dan memberi ijazah untuk meriwayatkannya (ناولين وأجازنـي)
b. Memberitakan kepada kami dengan metode munawalah (munawalah digabung dengan as-samā) (مناوهل حدثنا)
c. Memberitakan kepada kami dengan metode munawalah dan ijazah (munawalah bercampur dengan al-Qira’ah) (إجازة و مناولة أخربنا)
5. Metode al-Mukatabah.
Ungkapan ada’ al-hadīs dalam metode ini, adakalanya dengan ungkapan yang tegas, contohnya :
a. Si fulan menulis surat kepadaku (فالن إيل كتب)
b. Si fulan memberitakan kepadaku atau memberitakan kepada melalui surat (metode munāwalah gabung dengan metode as-sama’ dan al-Qira’ah) (حدثين فالن أو أحربين كتابة)
6. Metode al-I’lam.
Lambang ungkapan ada’ al-hadis dengan menggunakan: بكذا شييخ أعلمين Guruku memperlihatkan informasi kepadaku begini..
7. Metode al-Wasiyah.
Bentuk ungkapan adā’ al-hadis dalam metode ini adalah: كذا فالن إيل أوىص Si fulan berwasiat kepadaku begini... وصية فالن حدثين Si fulan memberitakan kepadaku dengan wasiat (metode wasiat dan assama’)
8. Metode al-Wijadah.
Hukum periwayatan dengan wijadah masuk dalam kategori munqati` (terputus sanad), tetapi juga ada unsur muttasil. Bentuk ungkapannya : Aku dapatkan pada goresan pena si fulan begini. .. (كذا فالن بـخط وجدت) Aku membaca pada goresan pena fulan begini...(كذا فالن بـخط قرأت)
Pengamalan wijadah tidak diperbolehkan berdasarkan lebih banyak didominasi muhaddisin pengikut Imam Malik. Sedangkan berdasarkan as-Syafi`i dan ulama Syafi’iyyah diperbolehkan. Bahkan berdasarkan sebagian ulama wijadah wajib diamalkan jikalau penukilnya mempunyai dapat dipercaya (siqqah) dalam periwayatan.
a. Mengusahakan biar tetap bisa memperoleh hadis dari seorang guru yang tsiqah, lebih-lebih sanggup bertemu eksklusif dan empat mata, merupakan abjad ulama pada masa penerimaan dan penyampaian hadis. Hal ini dilakukan alasannya kualitas hadis sangat ditentukan oleh oleh bagaimana hadis itu diperoleh dari gurunya dan disampaikan kepada murid-muridnya. Sehingga mereka senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk sanggup mempertahankan keaslian hadis nabi.
b. Munculnya banyak sekali macam cara penerimaan dan penyampaian hadis, mengindikasikan bahwa hingga pada batas yang rendah dalam nilai sebuah penerimaan dan penyampaian, memperlihatkan bahwa betapa penting sebuah proses harus dilakukan walau pada akibatnya harus mendapatkan yang sesuatu yang kurang diharapkan.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pengertian Ada’ al-Hadis, syarat-syarat, metode dan lafaz-lafaz dalam Ada’ al-Hadis. Sumber buku Siswa Hadits Ilmu Hadits Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
0 Response to "Pengertian Ada’ Al-Hadis, Syarat-Syarat, Metode Dan Lafaz-Lafaz Dalam Ada’ Al-Hadis"